Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah tempat bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota itulah sebermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat itu manusia serta-merta memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan berusaha menggunakan akalnya untuk menjelaskan dunia.
Sejarah penaklukan alam dibawah tatapan akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani, mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, Kenalilah dirimu sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut Plato, manusia terdiri dari 3 tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak (thymos) dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi, sekaligus mengatur dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Pandangan Plato tentang manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog dengan rasio). Kedua, para prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para petani dan tukang (analog dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44). Dengan konsepsi seperti ini Plato memperteguh keyakinan subjektivitas manusia dengan konstruksi kebudayaan (negara) yang berpijak pada rasio.
Sejarah filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang memiliki makna penting bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kejumudan dan kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian benih Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.
Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern. Dengan mengadopsi dan mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes berambisi membangun metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui strategi kesangsian metodis. Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu. Rumusan terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito ergo sum, Aku berpikir maka aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.
Sejarah pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang menghantar manusia pada realitas baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri informasi televisi, koran, iklan,
film, internet berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan pluralisme.
Namun dalam penampilannya yang mutakhir tersebut, modernisme mulai menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya: penuh kontradiksi, ideologis dan justru melahirkan berbagai patologi modernisme. Modernisme inilah yang telah mencapai status hegemonis semenjak kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel Heryanto, 1994: 80), yakni modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat awal kelahirannya, namun modernisme yang bercorak monoton, positivistik, teknosentris dan rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem produksi.
Unsur-unsur utama modernisme: rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru menyebabkan reduksi dan totalisasi hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmodernisme terhadap modernisme.
Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah payung postmodernisme dalam banyak bidang kehidupan: seni, sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan filsafat sebenarnya sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah modernisme sendiri. Lahirnya beragam bentuk realitas baru: seni bumi, seni avant garde, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche,Husserl, Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya pemikiran postmodernisme.
Terutama dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995: 161). Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).
Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya Grand Narrative telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.
Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.
Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan murni dan pengetahuan ideologis, Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan vice versa. Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum Weberian memahami kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain.Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki,melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana (Ahmad Sahal, 1994: 17). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang tidak berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian. Baginya rasio tidak universal, karena seperti disuarakan Charles Baudelaire, seorang penyair Perancis ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni:ironi.Karenanya Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak jamak semisal penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara, pabrik, seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan dengan pilihan ini, sekali lagi Foucault meneguhkan semangat emansipasi kaum tertindas yang telah diawali oleh Lyotard dan Derrida.
Akhirnya, sebuah suara lain yang mencoba membaca dan menyingkap perubahan watak modernisme adalah Jean Baudrillard. Filsuf Perancis ini mengambil jalan agak berbeda dengan para pendahulunya. Dengan mengambil alih pemikiran Marcel Mauss, Georges Bataille, Karl Marx, Roland Barthes dan Marshal McLuhann Baudrillard memusatkan diri menganalisa modernisme dari ranah budaya. Bertitik tolak dari itu ia menunjukkan adanya diskontinuitas budaya dalam realitas masyarakat dewasa ini. Melalui bukunya Simulations (1983), Baudrillard mengintrodusir karakter khas masyarakat Barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Inilah masyarakat yang hidup dengan silang-sengkarut kode, tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulacra (Lechte, 1994: 235). Simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Merujuk Baudrillard, terdapat tiga tingkatan simulacra (Baudrillard, 1983:54-56). Pertama, simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri. Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Kedua, simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi.Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat dampak negatif industrialisasi. Ketiga, simulacra yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi. Simulacra pada tingkatan ini merupakan wujud silang-sengkarut tanda, citra dan kode budaya yang tidak lagi merujuk pada representasi. Selanjutnya dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata,padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Realitas semu ini merupakan ruang antitesis dari representasi semacam dekonstruksi representasi dalam wacana Derrida. Dengan contoh yang gampang Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan analogi peta.
Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah, dalam mekanisme simulasi yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului wilayah. Realitas sosial,budaya, bahkan politik, dibangun berlandaskan model-model yang telah dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model (Baudrillard, 1987: 17). Boneka Barbie, tokoh Rambo, telenovela, iklan televisi, Doraemon atau Mickey Mouse adalah model-model acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini. Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika adalah representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Lewat televisi,film dan iklan, dunia simulasi tampil sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam silang-sengkarut tanda (Baudrillard, 1987: 33).Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini dengan micro processor, memory bank, remote control, telecard, laser disc, dan internet menurut Baudrillard tidak saja dapat memperpanjang badan atau sistem syaraf manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas ke dalam sebuah disket atau memory bank. Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta. Dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas: realitas yang berlebih, meledak, semu. Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan (citra-citra) seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Tokoh Rambo,boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager yang merupakan citra-citra buatan nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan tetangga kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran, fakta dan objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas adalah realitas itu sendiri (Baudrillard, 1983: 183). Yakni, era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983:2). Dimana, yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu direproduksi (Baudrillard, 1983: 146).
Sementara itu dalam bukunya Symbolic Exchange and Death (1993)
Baudrillard menyatakan bahwa sejalan dengan perubahan struktur masyarakat simulasi,telah terjadi pergeseran nilai-tanda dalam masyarakat kontemporer dewasa ini yakni dari nilai-guna dan nilai-tukar ke nilai-tanda dan nilai-simbol. Berangkat dari analisa masyarakat produksi Marx dengan konsep-konsep: nilai-guna (use-value), nilai-tukar (exchange-value), fetishism of commodity, social class, teori gift (pemberian) Marcell Mauss dan teori expenditure (belanjaan) Georges Bataille, pemikiran Baudrillard akhirnya menyempal dari pemikiran sang pendahulunya dan mengambil jalannya sendiri. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumeristik dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar, seperti disarankan Marx, sudah tidak lagi bisa diyakini. Sementara dari Mauss dan Bataille, Baudrillard bersepakat bahwa aktivitas konsumsi manusia sebenarnya didasarkan pada prinsip non-utilitarian(Lechte, 1994: 233). Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan nilai-tanda dan nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya citra dan makna oleh media massa dan perkembangan teknologi. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasarkan manfaat atau harganya, melainkan berdasarkan prestise dan makna simbolisnya (Lechte, 1994: 234). Mengacu Marx, terdapat dua nilai-tanda dalam sejarah kebudayaan manusia yakni, nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna merupakan nilai asali yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek dipandang memiliki guna bagi kepentingan manusia. Nilai inilah yang mendasari bangunan kebudayaan masyarakat awal. Selanjutnya dengan perkembangan kapitalisme, lahir nilai baru yakni nilai-tukar. Nilai-tukar dalam masyarakat kapitalis memiliki kedudukan penting karena dari sanalah lahir konsep komoditi. Dengan konsep komoditi, segala sesuatu dinilai berdasarkan nilai-tukarnya.
Sementara itu, menurut Baudrillard, telah terjadi perubahan dalam struktur masyarakat Barat dewasa ini. Masyarakat Barat dewasa ini adalah masyarakat konsumer: masyarakat yang haus mengkonsumsi segala sesuatu tidak hanya objek-real, namun juga objek-tanda. Inilah masyarakat yang hidup dengan kemudahan dan kesejahteraan yang diberikan oleh perkembangan kapitalisme-lanjut, kemajuan ilmu dan teknologi, ledakan media dan iklan. Tanda menjadi salah satu elemen penting masyarakat konsumer. Sejalan dengan itu, Baudrillard mengubah periodisasi yang dibuat Marx mengenai tingkat perkembangan masyarakat dari: masyarakat feodal, masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis, menjadi masyarakat primitif, masyarakat hierarkis dan masyarakat massa. Menurut Baudrillard, dalam masyarakat primitif, tidak ada elemen tanda. Objek dipahami secara alamiah dan murni berdasarkan kegunaannya. Selanjutnya dalam masyarakat hierarkis, terdapat sedikit sirkulasi elemen tanda dalam suatu budaya simbol yang baru tumbuh. Saat inilah lahir prinsip nilai-tukar. Akhirnya, dalam masyarakat massa, sirkulasi tanda mendominasi seluruh segi kehidupan. Dalam masyarakat massa, media menciptakan ledakan makna yang luar biasa hingga mengalahkan realitas nyata. Inilah saat ketika objek tidak lagi dilihat manfaat atau nilai-tukarnya, melainkan makna dan nilai-simbolnya (Baudrillard, 1993: 68-70).
Berangkat dari analisa Marx diatas, serta dengan membaca kondisi masyarakat Barat dewasa ini, Baudrillard menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalisme-lanjut (late capitalism) dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar telah dikalahkan oleh sebuah nilai baru, yakni nilai-tanda dan nilai-simbol. Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang lahir bersamaan dengan semakin meningkatnya taraf ekonomi masyarakat Barat, lebih memandang makna simbolik sebuah objek ketimbang manfaat atau harganya. Fenomena kelahiran nilai-tanda dan nilai-simbol ini mendorong Baudrillard untuk menyatakan bahwa analisa komoditi Marx sudah tidak dapat dipakai untuk memandang masyarakat Barat dewasa ini. Hal ini karena dalam masyarakat kapitalisme-lanjut Barat, perhatian utama lebih ditujukan kepada simbol,citra, sistem tanda dan bukan lagi pada manfaat dan harga komoditi.Lebih lanjut Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki beberapa ciri menonjol. Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. Kedua, kebudayaan postmodern lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media (medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta(fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic). Ketiga, kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta). Kelima, kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media massa.Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen (Harvey, 1989: 102).
Dalam konstruksi kebudayaan seperti inilah artefak-artefak budaya postmodern menemukan dirinya. Tidak ada lagi mitos Sang Seniman dalam wacana seni modern yang berpretensi membebaskan dunia. Tidak ada lagi karya seni, kecuali reproduksi dari berbagai unsur seni yang sudah ada. Tidak ada lagi perbedaan antara seni rendah dan seni tinggi, seni populer (popular art) dan seni murni (fine art). Estetika seni postmodern ditandai dengan prinsip-prinsip pastiche (peminjaman dan penggunaan berbagai sumber seni masa lalu), parodi (distorsi dan permainan makna), kitsch (reproduksi gaya,bentuk dan ikon), serta camp (pengelabuhan identitas dan penopengan (Pilliang, 1998: 109).
Diskursus kebudayaan postmodern mendapatkan legitimasi sosio-kultural-filosofisnya justru dari kegamangan era modern dalam menuntaskan proyek Pencerahan. Proyek modernisme yang dihidupi oleh semangat Pencerahan ini dengan keyakinan akan prinsip kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, keampuhan rekayasa bagi suatu masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan tata pengetahuan dan system produksi yang keras saat ini tengah menghadapi ujian besar dengan menyebarnya berbagai patologi modernitas.
Postmodernisme mencoba mempertanyakan kembali posisi, batas dan implikasi asumsi-asumsi modernisme yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Dalam kerangka kritis itulah Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan masyarakat Barat dewasa ini. Dengan mengadopsi dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value), semiologi Roland Barthes, society of spectacle Guy Debord, serta konsep global village dan medium is message Marshal McLuhan, Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. Inilah kebudayaan postmodern yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan yang saat ini menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas masyarakat dewasa ini.
*Dosen Tetap pada Universitas PGRI NTT. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Jember 2006
by:Kristin Ivana (625090084)
by:Kristin Ivana (625090084)
warna font nya bikin pusing!!!!!!